Hukum Dan Stella Award Di Indonesia Saat Ini
Channel Rakyat. Entah mengapa kasus korban pelecehan seksual yang justru diputus masuk bui, dan berbagai kasus unik lainnya mengingatkan saya pada Stella Award. Sebuah anugerah yang diberikan pada putusan hukum yang dianggap 'gila' sepanjang tahun 2002 sampai 2007, yang disusun oleh Randy Cassingham.
Nama Stella sendiri diambil dari salah satu putusan hukum yang dimenangkan seorang nenek berusia 79 tahun bernama Stella Liebeck. Pada 1992, sang nenek menuntut Mc Donald akibat luka bakar yang dideritanya dan mendapat ganti rugi hingga miliaran rupiah.
Yang membuat kasus ini spesial, Stella menderita luka bakar karena pahanya tertimpa kopi panas yang dibelinya di Mc Donald, setelah meletakkan kopi tersebut di atas pahanya saat berada di dalam mobil cucunya.
Sekalipun secara nalar, apa yang terjadi merupakan kelalaiannya sendiri. Akan tetapi, juri di pengadilan New Jersey memutuskan pihak Mc Donald harus memberikan ganti rugi.
Kejadian di atas menginspirasi tradisi Stella Award. Lalu, seaneh dan segila apa kasus-kasus yang mendapatkan Stella Award itu? Berikut kita cermati berbagai kasus dari daftar penerima Stella Award yang diungkap JD Journal.
Tahun 2002, Stella Award diberikan kepada kakak beradik Janice Bird, Dayle Bird, dan Kim Bird Moran yang menuntut dokter yang memeriksa ibu mereka, setelah mengunjungi sang ibu di rumah sakit. Anehnya, tuntutan yang timbul bukan karena kesalahan praktik atau malapraktik, melainkan karena ketiga kakak beradik tersebut merasa mengalami stres emosional saat melihat sang Ibu masuk ke ruang emergency. Kasus kakak beradik ini sempat berlanjut hingga Mahkamah Agung sebelum syukurlah akhirnya ditolak Mahkamah Agung.
Pada tahun berikutnya, seorang polisi di Mandera, California, dibebaskan dari tuduhan membunuh satu tersangka. Saat itu korban berada di kursi belakang mobil dalam keadaan terborgol dan kerap menendang-nendang kursi di depannya.
Untuk menenangkan, sang polisi mengambil senjata kejut dengan maksud menyetrumnya. Tapi entah mengapa aparat ini melakukan kesalahan, bukan senjata kejut yang diambil melainkan pistol, hingga jatuhlah korban jiwa.
Anehnya, pengadilan tidak menyatakan sang polisi bersalah, sebaliknya malah menuntut perusahaan senjata kejut yang dianggap membuat kesalahan fatal itu terjadi. Mungkin karena bentuk yang menyerupai pistol?
Selanjutnya, Mary Ubaidi dari Ilinois, pada 2004 dipilih sebagai penerima Stella Award. Alasannya, ia menuntut Mazda karena luka yang diderita akibat kecelakaan.
Luka terjadi karena ia tidak memakai seatbelt, dan ia mengajukan tuntutan hukum sebab Mazda tidak memberi petunjuk bagaimana mengenakan seatbelt – sementara yang bersangkutan menyatakan tidak pernah memakai seatbelt sebelumnya.
Berikutnya terpilih Christopher Rooller, tahun 2005, sebagai penerima Stella Award karena mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Tidak hanya itu, dia menuntut pesulap David Coperfield serta David Blain, royalti akan aksi keduanya di panggung yang--menurut dia--mencuri kemampuan Tuhan.
Pada 2006, Allen Ray Heckard yang merasa sangat mirip Michael Jordan, menuntut sang legenda Basket serta Nike untuk membayar dirinya, karena kemiripan tersebut memberi konsekuensi pribadi.
Stella Award selanjutnya pada 2007, dianugerahkan kepada Roy L Pearson Jr yang menuntut sebuah perusahaan laundry, yang menghilangkan celana miliknya. Tidak tanggung-tanggung uang yang dituntut senilai 65 juta dolar AS atau sekitar satu triliun rupiah. Yang lebih aneh lagi, Pearson adalah seorang hakim di Washington.
Sebenarnya selain di atas, masih beragam versi palsu Stella award, dalam arti tidak disusun langsung oleh komedian Randy Cassingham. Walau demikian, banyak di antaranya merupakan kasus hukum yang bahkan jauh lebih menggelikan serta tidak masuk akal.
Bagaimanakah dengan fenomena hukum di Tanah Air? Apakah semua berjalan sesuai asas keadilan, atau di antaranya ada yang teramat tidak masuk akal dan layak mendapatkan semacam Stella Award?
Meski apa yang terjadi di Tanah Air, termasuk kasus-kasus teranyar, dicermati berbagai pihak di masyarakat sebagai sebuah ketimpangan, bukan tuntutan aneh bin ajaib dari korban. Justru sebaliknya.
Kalau begitu barangkali kebalikan Stella Award? Lalu, apa nama yang tepat untuk anugerah demikian di Indonesia? Prita Award, Cicak Buaya Award, atau Nuril Award?
Mungkin terdengar konyol, tapi alih-alih menimbulkan senyum atau tawa, ide barusan justru membuat saya tercenung.
Nama Stella sendiri diambil dari salah satu putusan hukum yang dimenangkan seorang nenek berusia 79 tahun bernama Stella Liebeck. Pada 1992, sang nenek menuntut Mc Donald akibat luka bakar yang dideritanya dan mendapat ganti rugi hingga miliaran rupiah.
Yang membuat kasus ini spesial, Stella menderita luka bakar karena pahanya tertimpa kopi panas yang dibelinya di Mc Donald, setelah meletakkan kopi tersebut di atas pahanya saat berada di dalam mobil cucunya.
Sekalipun secara nalar, apa yang terjadi merupakan kelalaiannya sendiri. Akan tetapi, juri di pengadilan New Jersey memutuskan pihak Mc Donald harus memberikan ganti rugi.
Kejadian di atas menginspirasi tradisi Stella Award. Lalu, seaneh dan segila apa kasus-kasus yang mendapatkan Stella Award itu? Berikut kita cermati berbagai kasus dari daftar penerima Stella Award yang diungkap JD Journal.
Tahun 2002, Stella Award diberikan kepada kakak beradik Janice Bird, Dayle Bird, dan Kim Bird Moran yang menuntut dokter yang memeriksa ibu mereka, setelah mengunjungi sang ibu di rumah sakit. Anehnya, tuntutan yang timbul bukan karena kesalahan praktik atau malapraktik, melainkan karena ketiga kakak beradik tersebut merasa mengalami stres emosional saat melihat sang Ibu masuk ke ruang emergency. Kasus kakak beradik ini sempat berlanjut hingga Mahkamah Agung sebelum syukurlah akhirnya ditolak Mahkamah Agung.
Pada tahun berikutnya, seorang polisi di Mandera, California, dibebaskan dari tuduhan membunuh satu tersangka. Saat itu korban berada di kursi belakang mobil dalam keadaan terborgol dan kerap menendang-nendang kursi di depannya.
Untuk menenangkan, sang polisi mengambil senjata kejut dengan maksud menyetrumnya. Tapi entah mengapa aparat ini melakukan kesalahan, bukan senjata kejut yang diambil melainkan pistol, hingga jatuhlah korban jiwa.
Anehnya, pengadilan tidak menyatakan sang polisi bersalah, sebaliknya malah menuntut perusahaan senjata kejut yang dianggap membuat kesalahan fatal itu terjadi. Mungkin karena bentuk yang menyerupai pistol?
Selanjutnya, Mary Ubaidi dari Ilinois, pada 2004 dipilih sebagai penerima Stella Award. Alasannya, ia menuntut Mazda karena luka yang diderita akibat kecelakaan.
Luka terjadi karena ia tidak memakai seatbelt, dan ia mengajukan tuntutan hukum sebab Mazda tidak memberi petunjuk bagaimana mengenakan seatbelt – sementara yang bersangkutan menyatakan tidak pernah memakai seatbelt sebelumnya.
Berikutnya terpilih Christopher Rooller, tahun 2005, sebagai penerima Stella Award karena mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Tidak hanya itu, dia menuntut pesulap David Coperfield serta David Blain, royalti akan aksi keduanya di panggung yang--menurut dia--mencuri kemampuan Tuhan.
Pada 2006, Allen Ray Heckard yang merasa sangat mirip Michael Jordan, menuntut sang legenda Basket serta Nike untuk membayar dirinya, karena kemiripan tersebut memberi konsekuensi pribadi.
Stella Award selanjutnya pada 2007, dianugerahkan kepada Roy L Pearson Jr yang menuntut sebuah perusahaan laundry, yang menghilangkan celana miliknya. Tidak tanggung-tanggung uang yang dituntut senilai 65 juta dolar AS atau sekitar satu triliun rupiah. Yang lebih aneh lagi, Pearson adalah seorang hakim di Washington.
Sebenarnya selain di atas, masih beragam versi palsu Stella award, dalam arti tidak disusun langsung oleh komedian Randy Cassingham. Walau demikian, banyak di antaranya merupakan kasus hukum yang bahkan jauh lebih menggelikan serta tidak masuk akal.
Bagaimanakah dengan fenomena hukum di Tanah Air? Apakah semua berjalan sesuai asas keadilan, atau di antaranya ada yang teramat tidak masuk akal dan layak mendapatkan semacam Stella Award?
Meski apa yang terjadi di Tanah Air, termasuk kasus-kasus teranyar, dicermati berbagai pihak di masyarakat sebagai sebuah ketimpangan, bukan tuntutan aneh bin ajaib dari korban. Justru sebaliknya.
Kalau begitu barangkali kebalikan Stella Award? Lalu, apa nama yang tepat untuk anugerah demikian di Indonesia? Prita Award, Cicak Buaya Award, atau Nuril Award?
Mungkin terdengar konyol, tapi alih-alih menimbulkan senyum atau tawa, ide barusan justru membuat saya tercenung.
Komentar
Posting Komentar